Kamis, 14 Agustus 2008

Sabar dalam Musibah (kisah Sayidatina 'Aisyah ra)

Kata orang, pertengkaran dalam keluarga itu ibarat bumbu dalam masakan. Masakan akan terasa hampa tanpa rasa jika tidak ditambahi dengan bumbu. Entah pernyataan itu benar atau tidak, yang jelas hal itu sering terjadi. Sebab, untuk membentuk keluarga yang sakinah kita dituntut untuk saling mengerti, saling menerima dengan sepenuh hati bagaimanapun pasangan kita. Dan inilah yang paling sulit. Untuk itu marilah kita mengikuti apa yang telah dicontohkan Rasulullah ketika keluarganya ditimpa musibah. dalam kisah ini akan diceritakan bagaimana sikap Rasulullah dan Sayyidatina ’Aisyah ketika ikatan cinta mereka ditimpa fitnah. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini.
Ketika hendak bepergian, biasanya Rasulullah mengadakan undian di antara istri-istrinya. Siapa saja yang bernasib baik, dialah yang akan menemani Rasulullah selama dalam perjalanan. Suatu ketika, beliau memimpin sebuah peperangan. Untuk itu, sebelum berangkat beliau menyebar undian kepada para istrinya. Dan tanpa diduka, nasib berpihak kepada Dewi Aisyah. Peristiwa itu terjadi beberapa waktu setelah turunnya ayat hijab. Selama dalam perjalanan Dewi Aisyah berada dalam sebuah haudaj atau pelanting (sebuah bilik kecil untuk perempuan yang diletakkan di atas unta).
Setelah perang selesai, mereka pun langsung kembali ke Madinah. Namun, Nabi Muhammad Saw. menghentikan pasukan di sebuah tempat dekat kota Madinah. Beliau mempersilahkan pasukannya untuk beristirahat. Dan baru Setelah malam tiba, Nabi kembali meminta rombongan untuk meneruskan perjalanan. Pada waktu yang sama Dewi ’Aisyah bangkit dan berjalan jauh dari pasukan untuk suatu keperluan (hajat). Setelah selesai melaksanakan keperluannya, beliau baru kembali ke tempat peristirahatan.
Namun, memang malang, kalung yang dipakainya jatuh tanpa diketahui. Beliau baru menyadari bahwa kalungnya yang terbuat dari manik Zafar (berasal dari Zafar, Yaman) telah terjatuh ketika beliau hampir sampai ke tempat peristirahatan dan memegangi dadanya. Karena itu, beliau kembali lagi ke tempat semula untuk mencari kalungnya yang jatuh hingga tertinggal rombongan.
Sementara itu, beberapa orang laki-laki yang ditugaskan mengangkat haudaj ke atas unta yang membawa Dewi ’Aisyah sudah berangkat pulang. Mereka menyangka bahwa Dewi ’Aisyah telah berada di dalamnya. Hal itu terjadi karena para wanita waktu itu mempunyai berat badan yang ringan, tidak terlalu tinggi, dan tidak pula terlalu gemuk. Sebab, mereka hanya memakan sedikit makanan saja yang membuat para sahabat tidak terasa berat ketika membawa serta mengangkat haudaj. Apalagi waktu itu Dewi ’Aisyah adalah seorang gadis kecil.
Dewi ’Aisyah baru menemukan kalungnya yang hilang ketika rombongan telah pergi jauh meninggalkan tempat penginapan. Sehingga ketika beliau kembali ke sana tidak ada lagi seorang pun yang tertinggal. Dalam pada itu, Dewi ’Aisyah tetap menunggu di sana. Beliau berharap rombongan akan tersadar bahwa mereka telah kehilangan salah satu rombongannya dan mencarinya. Karena terlalu lama menunggu, akhirnya rasa kantuk pun menyelimuti, sehingga beliau tertidur.
Setelah beberapa lama, kebetulan Sufwan bil al Muattal al Sulami yang juga tertinggal rombongan melewati tempat itu. Dalam kesamaran ia melihat seorang manusia yang sedang tidur. Ia mencoba untuk mendekatinya. ”Inna liLlahi wa inna ilaihi rajiuun” terucap dari mulutnya ketika ia mengetahui bahwa sosok manusia itu adalah Dewi ‘Aisyah. Sufwan mengenali wajah beliau karena ia pernah melihatnya sebelum turunnya ayat hijab.
Seketika itu juga Dewi ’Aisyah terbangun dan langsung menutupi wajahnya dengan jilbab. Demi Allah! Tidaklah ia bercakap dengan Dewi ’Aisyah dan tidak pula sepatah kata pun terdengar kata-katanya kecuali Inna liLlahi wa inna ilaihi rajiuun, hingga ia meminta Dewi ’Aisyah untuk menunggang untanya. Tanpa berpikir panjang, Dewi ’Aisyah menerima tawarannya dan langsung naik ke atas unta dengan berpijak di tangannya. Selanjutnya keduanya langsung melanjutkan perjalanan. Sementara itu Sofwan berjalan kaki seraya menuntun onta yang ditunggangi Dewi ’Aisyah sampai mereka berdua kembali menyusul pasukan yang sedang berhenti karena diserang panas terik matahari.
Setelah sampai di Madinah Dewi ‘Aisyah jatuh sakit selama sebulan. Sementara itu orang-orang sedang ramai menyebarkan fitnah perihal Dewi ’Aisyah dan Sofwan. Selama itu pula beliau merasa sangat resah karena melihat perubahan pada suaminya, Rasulullah Saw. Beliau tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan orang-orang di luar sana. Beliau juga merasa bingung apa yang menyebabkan perubahan pada diri Rasulullah Saw. Tidak lagi beliau merasakan kasih sayang Rasulullah Saw. selama beliau menderita sakit. Berhari-hari lamanya Rasulullah hanya masuk, mengucapkan salam, lalu bertanya: ”Bagaimana keadaanmu?” Suasana seperti itu menyebabkan hati Dewi ’Aisyah semakin gelisah, karena beliau tidak merasa pernah melakukan suatu kesalahan yang membuat suaminya tidak senang.
Setelah penyakitnya berangsur sembuh, beliau keluar bersama Ummu Mistah ke WC. Di tempat itulah Dewi ’Aisyah biasa membuang hajatnya. Beliau pergi ke tempat itu pada malam hari. Suatu hari Dewi ’Aisyah pergi bersama Ummu Mistah binti Abu Ruhmi bin al-Muttalib bin Abdul Manaf. Ibunya adalah puteri Sakhrin bin Amir, ibu saudara Abu Bakar as-Siddiq ra, anaknya bernama Mistah bin Usasah bin Abad bin al Muttalib. Setelah keduanya selesai buang air besar, Dewi ’Aisyah berjumpa dengan anak perempuan Abu Ruhmi. Tiba-tiba Ummu Mistah terpijak pakaiannya lalu melatah sambil berkata: ”Celaka Mistah!” Sehingga Dewi ’Aisyah berkata kepadanya: ”Apakah engkau mencela seorang lelaki yang syahid dalam peperangan Badar.” Lalu ia menjawab: ”Wahai Sayidatina Aisyah, tidakkah engkau mendengar apa yang dia katakannya?” Dewi ’Aisyah pun menjawab: ”Tidak, apa yang dia katakan?”
Lantas Ummu Mistah bercerita tentang tuduhan pembuat cerita bohong. Mendengar cerita itu, sakitnya bertambah kuat. Setelah sampai di rumah, Rasulullah Saw. menjenguknya. Baginda mengucapkan salam kemudian bertanya: ”Bagaimana keadaanmu?” Dewi ’Aisyah pun menjawab: ”Apakah engkau izinkan aku berjumpa kedua orang tuaku?” Dewi ’Aisyah ingin mendengar sendiri kepastian berita tersebut dari dua orang tuanya.
Selepas mendapat izin dari Rasulullah Saw, Dewi ’Aisyah pun segera bertandang pulang ke rumah orang tuanya. Setelah sampai di sana, beliau bertanya pada ibunya: ”Wahai ibu, apakah cerita yang disebarkan oleh orang mengenai diriku?” Ibunya pun menjawab: ”Wahai anakku! Tabahkanlah hatimu! Demi Allah, berapa orang saja wanita cantik berada di samping suami yang menyayanginya dan mempunyai beberapa orang madu tidak difitnah, bahkan banyak yang melontarkan fitnah terhadapnya.” Dewi ’Aisyah pun berkata: ”Maha suci Allah Swt! Apakah sampai begitu orang memfitnahku?” Dewi ’Aisyah terus menangis pada malam itu dan tidak lagi mampu menahan air mata. Beliau pun tidak dapat memejamkan mata. Sampai pada keesokan harinya, beliau masih dalam keadaan demikian.
Hingga suatu saat Rasulullah Saw. memanggil Ali bin Abi Talib dan Usamah bin Zaid untuk memperbincangkan perceraian dengan isterinya. Ketika itu wahyu tidak diturunkan. Usamah bin Zaid memberi pertimbangan kepada Rasulullah Saw. tentang penjagaan Allah terhadap isteri baginda dan kemesraan Nabi terhadap mereka sambil berkata: ”Wahai Rasulullah! Mereka adalah keluargamu. Kami cuma mengetahui apa yang baik.” Sedangkan Ali bin Abi Talib berkata: ”Allah tidak menyulitkanmu wahai Rasulullah. Masih banyak wanita selain dia. Jika engkau mau bertanya pada pembantu rumah, tentu dia akan memberikan keterangan yang betul.”
Lantas Rasulullah Saw. memanggil Barirah (pembantu rumah) dan bertanya: ”Wahai Barirah! Apakah engkau pernah melihat sesuatu yang meragukan tentang Aisyah?” Barirah menjawab: ”Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran. Sekiranya aku melihat sesuatu padanya, niscaya aku tidak akan menyembunyikannya. Dia tidak lebih dari seorang gadis muda yang sering tertidur di samping adonan roti keluarganya, sehingga binatang ternak seperti ayam dan burung datang memakannya.”
Beberapa waktu kemudian, Rasulullah Saw. berdiri di atas mimbar meminta pertolongan untuk membersihkan segala fitnah yang dilontarkan oleh Abdullah bin Ubai bin Salul. Dalam khutbahnya di atas mimbar beliau bersabda: ”Wahai kaum muslimin! Siapakah yang ingin menolongku dari orang yang sanggup melukai hati keluargaku? Demi Allah! Apa yang aku ketahui hanyalah kebaikan. Beberapa orang telah menyebut tentang seorang lelaki yang aku ketahui bahwa dia seorang yang baik. Dia tidak pernah masuk sehingga berjumpa dengan isteriku kecuali bersamaku.” Lalu Saad bin Muaz al Ansari bangun seraya berkata: ”Aku yang akan menolongmu dari orang itu wahai Rasulullah. Jika dia dari golongan Aus, aku akan memenggal lehernya, dan sekiranya dia dari kalangan saudara kami, dari golongan Khazraj, perintahkanlah aku, niscaya aku akan melaksanakan segala perintahmu itu.”
Mendengar kata-kata itu, lantas Saad bin Ubadah bangun. Dia adalah penghulu golongan Khazraj, seorang yang salih, tetapi kadang-kadang dia cepat radang karena bongkak. Dia menjawab kepada Saad bin Muaz: ”Engkau bohong! Demi Allah, engkau tidak dapat membunuhnya dan tidak mampu untuk membunuhnya!” Mendengar pernyataan dari Saad bin Ubadah, tanpa berpikir panjang Usaid bin Hudair, sepupu Saad bin Muaz bangun menjawab kepada Saad bin Ubadah: ”Engkau bohong! Demi Allah, kami akan membunuhnya. Engkau seorang munafik yang membela orang-orang munafik.”
Maka terjadilah pertengkaran hebat antara golongan Aus dan Khazraj. Hampir saja mereka saling membunuh. Sementara itu Rasulullah Saw. masih tetap berdiri di atas mimbar. Tidak henti-hentinya Rasulullah Saw. menenangkan mereka hingga mereka terdiam karena melihat beliau diam. Melihat keadaan itu Dewi ’Aisyah menangis sepanjang hari. Air matanya tidak berhenti mengalir, dan beliau tidak dapat tidur hingga malam berikutnya. Sehingga kedua orang tuanya khawatir tangisan itu akan membelah jantungnya.
Ketika kedua orang tuanya menunggui, seorang perempuan Anshar datang meminta izin untuk bertemu dengannya. Setelah diizinkan, dia langsung masuk menemui Dewi ’Aisyah lalu duduk sambil menangis. Ketika itu Rasulullah Saw. Masuk, mengucapkan salam, lalu duduk bersamanya. Baginda tidak pernah berbuat demikian sejak tersebarnya fitnah terhadapnya sebulan yang lalu. Wahyu juga tidak diturunkan kepada baginda.
Dalam keadaan duduk, Rasulullah Saw. mengucapkan dua kalimah syahadah kemudian bersabda: ”Wahai Aisyah! Aku ketahui berbagai cerita tentang dirimu. Jika engkau memang tidak bersalah, Allah pasti tidak akan menyalahkan kamu. Tetapi seandainya engkau bersalah, mohonlah ampunan dariNya, dan bertaubatlah kepadaNya. Kerana sesungguhnya apabila seorang hamba mengaku berdosa, kemudian bertaubat niscaya Allah pasti akan menerima taubatnya.”
Setelah Rasulullah Saw. selesai bersabda, hati Dewi ‘Aisyah semakin bertambah sedih, sehingga tidak terasa air matanya menetes. Beliau berkata kepada ayahnya, Sayyidina Abu Bakar: ”Jelaskanlah kepada baginda mengenai apa yang beliau katakan. Dan ayahnya menjawab: ”Demi Allah! Aku tidak tahu apa yang harus dijelaskan kepada Rasulullah Saw.” Kemudian Dewi ’Aisyah berkata kepada ibunya: ”Jelaskanlah kepada Rasulullah Saw.” Tidak berbeda dengan ayahnya, Ibunya juga menjawab: ”Demi Allah! Aku tidak tahu apa yang harus dijelaskan kepada Rasulullah saw.”
Setelah mendengar pernyataan dari kedua orang tuanya, sambil mencoba untuk menjelaskan, Dewi ’Aisyah berkata: ”Aku adalah seorang gadis muda. Aku tidak banyak membaca al Quran. Demi Allah! Aku tahu bahwa kalian telah mendengar semuanya itu sehingga tetap pada pendirian kalian, malah kalian mempercayainya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah, Allahlah yang mengetahui bahwa aku tidak bersalah, tetapi kalian tetap tidak mempercayaiku. Begitu juga sekiranya aku mengakui melakukan kesalahan, Allahlah yang mengetahui bahwa aku tidak bersalah dan kalian tentu akan mempercayaiku. Demi Allah, aku tidak punya contoh yang tepat untuk aku dan kalian kecuali kata-kata yang disebut oleh ayah Nabi Yusuf as: فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ (Kalau begitu aku harus bersabar dengan sebaik-baiknya dan Allah jualah yang dimintai pertolongan mengenai apa yang kamu katakan itu).”
Setelah itu, Dewi ’Aisyah langsung pergi lalu berbaring di tempat tidurnya. Saat itu beliau sangat yakin bahwa beliau tidak bersalah dan suatu saat nanti Allah pasti akan menunjukkan siapa yang benar. Sama sekali tidak terbesit dalam hatinya bahwa Allah akan menurunkan wahyu mengenai permasalahan yang baru beliau hadapi, karena beliau menganggap bahwa permasalahan itu terlalu remeh untuk difirmankan Allah Swt. Namun begitu, beliau mengharapkan agar Rasulullah Saw. melihat dalam mimpi bahwa Allah Swt. membersihkannya dari fitnah itu.
Namun, belum sampai Rasulullah beranjak dari tempat duduknya, dan belum seorang pun dari kalangan keluarga Dewi ’Aisyah keluar, Allah Swt. menurunkan wahyu kepada NabiNya. Seketika itu langsung terlihat perubahan pada diri Rasulullah Saw, Baginda Rasul duduk membongkok sambil berpeluh bagaikan mutiara pada musim sejuk karena beratnya menerima firman Allah Swt. yang diturunkan kepadanya.
Setelah itu Rasulullah Saw. langsung ketawa. Ucapan pertama baginda Nabi selepas menerima wahyu ialah sabdanya: ”Bergembiralah wahai ’Aisyah! Sesungguhnya Allah swt. telah membersihkan kamu!” Dan ibunda ’Aisyah langsung menyuruhnya untuk segera bangkit dari tempat tidur untuk bertemu Rasulullah. Namun Dewi ’Aisyah malah berkata: ”Demi Allah! Aku tidak akan bangun berjumpa baginda. Aku hanya akan memuji kepada Allah Swt. karena Dialah yang menurunkan ayat al Quran tentang kebersihanku.” Lalu Allah Swt. menurunkan ayat yang artinya: ”Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita yang amat dusta itu ialah segolongan dari kalangan kamu,” sebanyak sepuluh ayat. Allah Swt. menurunkan ayat-ayat tersebut untuk menyatakan kebersihan Dewi ‘Aisyah.
Sayidina Abu Bakar, orang yang selalu memberi nafkah kepada Mistah (salah seorang dari keluarga Abu Bakar dan seorang miskin) berkata: ”Demi Allah! Aku tidak akan memberikan nafkah kepadanya lagi selepas dia menfitnah Sayidatina ’Aisyah ra.” Sebagai teguran terhadap tindakan itu, Allah Swt. menurunkan ayat: وَلَا يَأْتَلِ أُولُوا الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى hingga ayat أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
Mendengar ayat tersebut Abu Bakar berkata: ”Demi Allah! Memang aku inginkan keampunan Allah swt.” Setelah itu Abu Bakar kembali memberikan nafkah kepada Mistah sebagaimana biasa dan berkata: ”Aku tidak akan berhenti memberi nafkah kepadanya.”
Sebenarnya Rasulullah Saw. pernah menanyakan masalah ’Aisyah ini kepada Zainab binti Jahsyin, salah satu isteri Nabi Saw. ”Apakah yang engkau ketahui atau apakah pendapatmu tentang ‘Aisyah?” sabda Rasulullah kepada Zainab. Dan ia pun menjawab: ”Wahai Rasulullah! Aku selalu menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah! Apa yang aku ketahui hanyalah kebaikan.” Jawaban inilah yang membuat Sayidatina ’Aisyah menaruh simpati kepadanya, sehingga beliau, ’Aisyah berkata: ”Dialah salah seorang dari kalangan isteri-isteri Nabi Saw. yang membanggakan aku. Allah Swt. mengaruniakan kepadanya sifat wara’, berbeda dengan saudara perempuannya, yaitu Hamnah binti Jahsyin yang turut serta menyebarkan fitnah. Maka celakalah dia bersama orang-orang yang celaka!” (Kisah ini diambil dari hadis riwayat Sayidatina ’Aisyah Ra.


Tidak ada komentar: