Kamis, 14 Agustus 2008

Mengenang Akhlak Nabi Muhamad SAW

Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya dan tidak, Rasul yang mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar untuk menceritakan Muhammad. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.

Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Dengan linangan air mata Ali berkata: "Ceritakan padaku keindahan dunia ini!" Badui ini menjawab, "Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini?" Ali menjawab, "Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia, padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah sendau-gurau belaka. Lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung!"
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah Ra, Isteri Nabi yang sering disapa Khumairah. Ia hanya menjawab, "Khuluquhu al-Quran (Akhlak Muhammad itu Al-Quran)." Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan al-Quran berjalan. Badui itu tidak puas. Bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan al-Quran. Aisyah akhirnya menyarankan badui ini untuk membaca dan menyimak QS al-Mu'minun ayat satu sampai dengan ayat kesebelas.
Para sahabat memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Linangan air mata lah sebagai jawaban ketika mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi. Mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.
Ketika Aisyah ditanya tentang perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab bahwa semua perilakunya indah. Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya sebagai seorang isteri. Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, "Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu." Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian, dan rasa hormat dari seorang suami.
Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati sang suami disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang tatkala melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, "Mengapa engkau tidur di sini." Nabi Muhammmad menjawab, "Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. Itulah sebabnya aku tidur di depan pintu."
Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika ia terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun tak seorang pun memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya dan mempersilahkannya untuk duduk di samping Beliau. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan sorban itu kepada sahabat tersebut untuk dijadikan alas duduk. Dengan linangan air mata ia menerima sorban tersebut, namun tidak menjadikannya alas duduk, akan tetapi malah menciumi sorban itu.
Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk alas duduk kita. Begitulah akhlak Nabi. Sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia?
Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Terhadap Abu Bakar Rasul selalu memujinya. "Abu Bakar lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit." Tentang Umar Rasul pernah berkata, "Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain."
Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman. Karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu al-nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. "Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Barang siapa membenci Ali, maka ia adalah orang munafik."
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.

Seorang ulama mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Dalam al-Quran Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dan seterusnya. Tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan Wahai Nabi. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.
Dalam kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi'ah. Ia berkata pada Nabi, "Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika engkau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami. Jika Kau inginkan kemuliaan, akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan Engkau penguasa kami."
Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, "Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?" "Sudah." Kata Utbah. Nabi membalas ucapan Utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan dengan si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi bicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim pun kita tidak mau. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!

Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, "Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku. Aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada di antara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!" Sahabat yang lain terdiam. Namun, ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, "Dahulu ketika engkau memeriksa barisan, kau meluruskan posisiku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak. Tapi aku ingin menuntut qishash hari ini." Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu.
Rasul memberikan tongkat pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, "Lakukanlah!" Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis. "Sungguh maksudku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu! Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah." Seketika itu juga terdengar ucapan, Allahu Akbar berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.

Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung, ditengah miliaran umat manusia? Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na'udzu billah....



Tidak ada komentar: