Kamis, 14 Agustus 2008

Mengenang Akhlak Nabi Muhamad SAW

Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya dan tidak, Rasul yang mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar untuk menceritakan Muhammad. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.

Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Dengan linangan air mata Ali berkata: "Ceritakan padaku keindahan dunia ini!" Badui ini menjawab, "Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini?" Ali menjawab, "Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia, padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah sendau-gurau belaka. Lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung!"
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah Ra, Isteri Nabi yang sering disapa Khumairah. Ia hanya menjawab, "Khuluquhu al-Quran (Akhlak Muhammad itu Al-Quran)." Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan al-Quran berjalan. Badui itu tidak puas. Bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan al-Quran. Aisyah akhirnya menyarankan badui ini untuk membaca dan menyimak QS al-Mu'minun ayat satu sampai dengan ayat kesebelas.
Para sahabat memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Linangan air mata lah sebagai jawaban ketika mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi. Mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.
Ketika Aisyah ditanya tentang perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab bahwa semua perilakunya indah. Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya sebagai seorang isteri. Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, "Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu." Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian, dan rasa hormat dari seorang suami.
Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati sang suami disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang tatkala melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, "Mengapa engkau tidur di sini." Nabi Muhammmad menjawab, "Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. Itulah sebabnya aku tidur di depan pintu."
Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika ia terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun tak seorang pun memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya dan mempersilahkannya untuk duduk di samping Beliau. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan sorban itu kepada sahabat tersebut untuk dijadikan alas duduk. Dengan linangan air mata ia menerima sorban tersebut, namun tidak menjadikannya alas duduk, akan tetapi malah menciumi sorban itu.
Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk alas duduk kita. Begitulah akhlak Nabi. Sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia?
Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Terhadap Abu Bakar Rasul selalu memujinya. "Abu Bakar lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit." Tentang Umar Rasul pernah berkata, "Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain."
Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman. Karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu al-nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. "Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Barang siapa membenci Ali, maka ia adalah orang munafik."
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.

Seorang ulama mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Dalam al-Quran Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dan seterusnya. Tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan Wahai Nabi. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.
Dalam kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi'ah. Ia berkata pada Nabi, "Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika engkau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami. Jika Kau inginkan kemuliaan, akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan Engkau penguasa kami."
Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, "Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?" "Sudah." Kata Utbah. Nabi membalas ucapan Utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan dengan si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi bicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim pun kita tidak mau. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!

Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, "Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku. Aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada di antara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!" Sahabat yang lain terdiam. Namun, ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, "Dahulu ketika engkau memeriksa barisan, kau meluruskan posisiku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak. Tapi aku ingin menuntut qishash hari ini." Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu.
Rasul memberikan tongkat pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, "Lakukanlah!" Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis. "Sungguh maksudku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu! Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah." Seketika itu juga terdengar ucapan, Allahu Akbar berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.

Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung, ditengah miliaran umat manusia? Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na'udzu billah....



Read More......

Sabar dalam Musibah (kisah Sayidatina 'Aisyah ra)

Kata orang, pertengkaran dalam keluarga itu ibarat bumbu dalam masakan. Masakan akan terasa hampa tanpa rasa jika tidak ditambahi dengan bumbu. Entah pernyataan itu benar atau tidak, yang jelas hal itu sering terjadi. Sebab, untuk membentuk keluarga yang sakinah kita dituntut untuk saling mengerti, saling menerima dengan sepenuh hati bagaimanapun pasangan kita. Dan inilah yang paling sulit. Untuk itu marilah kita mengikuti apa yang telah dicontohkan Rasulullah ketika keluarganya ditimpa musibah. dalam kisah ini akan diceritakan bagaimana sikap Rasulullah dan Sayyidatina ’Aisyah ketika ikatan cinta mereka ditimpa fitnah. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini.
Ketika hendak bepergian, biasanya Rasulullah mengadakan undian di antara istri-istrinya. Siapa saja yang bernasib baik, dialah yang akan menemani Rasulullah selama dalam perjalanan. Suatu ketika, beliau memimpin sebuah peperangan. Untuk itu, sebelum berangkat beliau menyebar undian kepada para istrinya. Dan tanpa diduka, nasib berpihak kepada Dewi Aisyah. Peristiwa itu terjadi beberapa waktu setelah turunnya ayat hijab. Selama dalam perjalanan Dewi Aisyah berada dalam sebuah haudaj atau pelanting (sebuah bilik kecil untuk perempuan yang diletakkan di atas unta).
Setelah perang selesai, mereka pun langsung kembali ke Madinah. Namun, Nabi Muhammad Saw. menghentikan pasukan di sebuah tempat dekat kota Madinah. Beliau mempersilahkan pasukannya untuk beristirahat. Dan baru Setelah malam tiba, Nabi kembali meminta rombongan untuk meneruskan perjalanan. Pada waktu yang sama Dewi ’Aisyah bangkit dan berjalan jauh dari pasukan untuk suatu keperluan (hajat). Setelah selesai melaksanakan keperluannya, beliau baru kembali ke tempat peristirahatan.
Namun, memang malang, kalung yang dipakainya jatuh tanpa diketahui. Beliau baru menyadari bahwa kalungnya yang terbuat dari manik Zafar (berasal dari Zafar, Yaman) telah terjatuh ketika beliau hampir sampai ke tempat peristirahatan dan memegangi dadanya. Karena itu, beliau kembali lagi ke tempat semula untuk mencari kalungnya yang jatuh hingga tertinggal rombongan.
Sementara itu, beberapa orang laki-laki yang ditugaskan mengangkat haudaj ke atas unta yang membawa Dewi ’Aisyah sudah berangkat pulang. Mereka menyangka bahwa Dewi ’Aisyah telah berada di dalamnya. Hal itu terjadi karena para wanita waktu itu mempunyai berat badan yang ringan, tidak terlalu tinggi, dan tidak pula terlalu gemuk. Sebab, mereka hanya memakan sedikit makanan saja yang membuat para sahabat tidak terasa berat ketika membawa serta mengangkat haudaj. Apalagi waktu itu Dewi ’Aisyah adalah seorang gadis kecil.
Dewi ’Aisyah baru menemukan kalungnya yang hilang ketika rombongan telah pergi jauh meninggalkan tempat penginapan. Sehingga ketika beliau kembali ke sana tidak ada lagi seorang pun yang tertinggal. Dalam pada itu, Dewi ’Aisyah tetap menunggu di sana. Beliau berharap rombongan akan tersadar bahwa mereka telah kehilangan salah satu rombongannya dan mencarinya. Karena terlalu lama menunggu, akhirnya rasa kantuk pun menyelimuti, sehingga beliau tertidur.
Setelah beberapa lama, kebetulan Sufwan bil al Muattal al Sulami yang juga tertinggal rombongan melewati tempat itu. Dalam kesamaran ia melihat seorang manusia yang sedang tidur. Ia mencoba untuk mendekatinya. ”Inna liLlahi wa inna ilaihi rajiuun” terucap dari mulutnya ketika ia mengetahui bahwa sosok manusia itu adalah Dewi ‘Aisyah. Sufwan mengenali wajah beliau karena ia pernah melihatnya sebelum turunnya ayat hijab.
Seketika itu juga Dewi ’Aisyah terbangun dan langsung menutupi wajahnya dengan jilbab. Demi Allah! Tidaklah ia bercakap dengan Dewi ’Aisyah dan tidak pula sepatah kata pun terdengar kata-katanya kecuali Inna liLlahi wa inna ilaihi rajiuun, hingga ia meminta Dewi ’Aisyah untuk menunggang untanya. Tanpa berpikir panjang, Dewi ’Aisyah menerima tawarannya dan langsung naik ke atas unta dengan berpijak di tangannya. Selanjutnya keduanya langsung melanjutkan perjalanan. Sementara itu Sofwan berjalan kaki seraya menuntun onta yang ditunggangi Dewi ’Aisyah sampai mereka berdua kembali menyusul pasukan yang sedang berhenti karena diserang panas terik matahari.
Setelah sampai di Madinah Dewi ‘Aisyah jatuh sakit selama sebulan. Sementara itu orang-orang sedang ramai menyebarkan fitnah perihal Dewi ’Aisyah dan Sofwan. Selama itu pula beliau merasa sangat resah karena melihat perubahan pada suaminya, Rasulullah Saw. Beliau tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan orang-orang di luar sana. Beliau juga merasa bingung apa yang menyebabkan perubahan pada diri Rasulullah Saw. Tidak lagi beliau merasakan kasih sayang Rasulullah Saw. selama beliau menderita sakit. Berhari-hari lamanya Rasulullah hanya masuk, mengucapkan salam, lalu bertanya: ”Bagaimana keadaanmu?” Suasana seperti itu menyebabkan hati Dewi ’Aisyah semakin gelisah, karena beliau tidak merasa pernah melakukan suatu kesalahan yang membuat suaminya tidak senang.
Setelah penyakitnya berangsur sembuh, beliau keluar bersama Ummu Mistah ke WC. Di tempat itulah Dewi ’Aisyah biasa membuang hajatnya. Beliau pergi ke tempat itu pada malam hari. Suatu hari Dewi ’Aisyah pergi bersama Ummu Mistah binti Abu Ruhmi bin al-Muttalib bin Abdul Manaf. Ibunya adalah puteri Sakhrin bin Amir, ibu saudara Abu Bakar as-Siddiq ra, anaknya bernama Mistah bin Usasah bin Abad bin al Muttalib. Setelah keduanya selesai buang air besar, Dewi ’Aisyah berjumpa dengan anak perempuan Abu Ruhmi. Tiba-tiba Ummu Mistah terpijak pakaiannya lalu melatah sambil berkata: ”Celaka Mistah!” Sehingga Dewi ’Aisyah berkata kepadanya: ”Apakah engkau mencela seorang lelaki yang syahid dalam peperangan Badar.” Lalu ia menjawab: ”Wahai Sayidatina Aisyah, tidakkah engkau mendengar apa yang dia katakannya?” Dewi ’Aisyah pun menjawab: ”Tidak, apa yang dia katakan?”
Lantas Ummu Mistah bercerita tentang tuduhan pembuat cerita bohong. Mendengar cerita itu, sakitnya bertambah kuat. Setelah sampai di rumah, Rasulullah Saw. menjenguknya. Baginda mengucapkan salam kemudian bertanya: ”Bagaimana keadaanmu?” Dewi ’Aisyah pun menjawab: ”Apakah engkau izinkan aku berjumpa kedua orang tuaku?” Dewi ’Aisyah ingin mendengar sendiri kepastian berita tersebut dari dua orang tuanya.
Selepas mendapat izin dari Rasulullah Saw, Dewi ’Aisyah pun segera bertandang pulang ke rumah orang tuanya. Setelah sampai di sana, beliau bertanya pada ibunya: ”Wahai ibu, apakah cerita yang disebarkan oleh orang mengenai diriku?” Ibunya pun menjawab: ”Wahai anakku! Tabahkanlah hatimu! Demi Allah, berapa orang saja wanita cantik berada di samping suami yang menyayanginya dan mempunyai beberapa orang madu tidak difitnah, bahkan banyak yang melontarkan fitnah terhadapnya.” Dewi ’Aisyah pun berkata: ”Maha suci Allah Swt! Apakah sampai begitu orang memfitnahku?” Dewi ’Aisyah terus menangis pada malam itu dan tidak lagi mampu menahan air mata. Beliau pun tidak dapat memejamkan mata. Sampai pada keesokan harinya, beliau masih dalam keadaan demikian.
Hingga suatu saat Rasulullah Saw. memanggil Ali bin Abi Talib dan Usamah bin Zaid untuk memperbincangkan perceraian dengan isterinya. Ketika itu wahyu tidak diturunkan. Usamah bin Zaid memberi pertimbangan kepada Rasulullah Saw. tentang penjagaan Allah terhadap isteri baginda dan kemesraan Nabi terhadap mereka sambil berkata: ”Wahai Rasulullah! Mereka adalah keluargamu. Kami cuma mengetahui apa yang baik.” Sedangkan Ali bin Abi Talib berkata: ”Allah tidak menyulitkanmu wahai Rasulullah. Masih banyak wanita selain dia. Jika engkau mau bertanya pada pembantu rumah, tentu dia akan memberikan keterangan yang betul.”
Lantas Rasulullah Saw. memanggil Barirah (pembantu rumah) dan bertanya: ”Wahai Barirah! Apakah engkau pernah melihat sesuatu yang meragukan tentang Aisyah?” Barirah menjawab: ”Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran. Sekiranya aku melihat sesuatu padanya, niscaya aku tidak akan menyembunyikannya. Dia tidak lebih dari seorang gadis muda yang sering tertidur di samping adonan roti keluarganya, sehingga binatang ternak seperti ayam dan burung datang memakannya.”
Beberapa waktu kemudian, Rasulullah Saw. berdiri di atas mimbar meminta pertolongan untuk membersihkan segala fitnah yang dilontarkan oleh Abdullah bin Ubai bin Salul. Dalam khutbahnya di atas mimbar beliau bersabda: ”Wahai kaum muslimin! Siapakah yang ingin menolongku dari orang yang sanggup melukai hati keluargaku? Demi Allah! Apa yang aku ketahui hanyalah kebaikan. Beberapa orang telah menyebut tentang seorang lelaki yang aku ketahui bahwa dia seorang yang baik. Dia tidak pernah masuk sehingga berjumpa dengan isteriku kecuali bersamaku.” Lalu Saad bin Muaz al Ansari bangun seraya berkata: ”Aku yang akan menolongmu dari orang itu wahai Rasulullah. Jika dia dari golongan Aus, aku akan memenggal lehernya, dan sekiranya dia dari kalangan saudara kami, dari golongan Khazraj, perintahkanlah aku, niscaya aku akan melaksanakan segala perintahmu itu.”
Mendengar kata-kata itu, lantas Saad bin Ubadah bangun. Dia adalah penghulu golongan Khazraj, seorang yang salih, tetapi kadang-kadang dia cepat radang karena bongkak. Dia menjawab kepada Saad bin Muaz: ”Engkau bohong! Demi Allah, engkau tidak dapat membunuhnya dan tidak mampu untuk membunuhnya!” Mendengar pernyataan dari Saad bin Ubadah, tanpa berpikir panjang Usaid bin Hudair, sepupu Saad bin Muaz bangun menjawab kepada Saad bin Ubadah: ”Engkau bohong! Demi Allah, kami akan membunuhnya. Engkau seorang munafik yang membela orang-orang munafik.”
Maka terjadilah pertengkaran hebat antara golongan Aus dan Khazraj. Hampir saja mereka saling membunuh. Sementara itu Rasulullah Saw. masih tetap berdiri di atas mimbar. Tidak henti-hentinya Rasulullah Saw. menenangkan mereka hingga mereka terdiam karena melihat beliau diam. Melihat keadaan itu Dewi ’Aisyah menangis sepanjang hari. Air matanya tidak berhenti mengalir, dan beliau tidak dapat tidur hingga malam berikutnya. Sehingga kedua orang tuanya khawatir tangisan itu akan membelah jantungnya.
Ketika kedua orang tuanya menunggui, seorang perempuan Anshar datang meminta izin untuk bertemu dengannya. Setelah diizinkan, dia langsung masuk menemui Dewi ’Aisyah lalu duduk sambil menangis. Ketika itu Rasulullah Saw. Masuk, mengucapkan salam, lalu duduk bersamanya. Baginda tidak pernah berbuat demikian sejak tersebarnya fitnah terhadapnya sebulan yang lalu. Wahyu juga tidak diturunkan kepada baginda.
Dalam keadaan duduk, Rasulullah Saw. mengucapkan dua kalimah syahadah kemudian bersabda: ”Wahai Aisyah! Aku ketahui berbagai cerita tentang dirimu. Jika engkau memang tidak bersalah, Allah pasti tidak akan menyalahkan kamu. Tetapi seandainya engkau bersalah, mohonlah ampunan dariNya, dan bertaubatlah kepadaNya. Kerana sesungguhnya apabila seorang hamba mengaku berdosa, kemudian bertaubat niscaya Allah pasti akan menerima taubatnya.”
Setelah Rasulullah Saw. selesai bersabda, hati Dewi ‘Aisyah semakin bertambah sedih, sehingga tidak terasa air matanya menetes. Beliau berkata kepada ayahnya, Sayyidina Abu Bakar: ”Jelaskanlah kepada baginda mengenai apa yang beliau katakan. Dan ayahnya menjawab: ”Demi Allah! Aku tidak tahu apa yang harus dijelaskan kepada Rasulullah Saw.” Kemudian Dewi ’Aisyah berkata kepada ibunya: ”Jelaskanlah kepada Rasulullah Saw.” Tidak berbeda dengan ayahnya, Ibunya juga menjawab: ”Demi Allah! Aku tidak tahu apa yang harus dijelaskan kepada Rasulullah saw.”
Setelah mendengar pernyataan dari kedua orang tuanya, sambil mencoba untuk menjelaskan, Dewi ’Aisyah berkata: ”Aku adalah seorang gadis muda. Aku tidak banyak membaca al Quran. Demi Allah! Aku tahu bahwa kalian telah mendengar semuanya itu sehingga tetap pada pendirian kalian, malah kalian mempercayainya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah, Allahlah yang mengetahui bahwa aku tidak bersalah, tetapi kalian tetap tidak mempercayaiku. Begitu juga sekiranya aku mengakui melakukan kesalahan, Allahlah yang mengetahui bahwa aku tidak bersalah dan kalian tentu akan mempercayaiku. Demi Allah, aku tidak punya contoh yang tepat untuk aku dan kalian kecuali kata-kata yang disebut oleh ayah Nabi Yusuf as: فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ (Kalau begitu aku harus bersabar dengan sebaik-baiknya dan Allah jualah yang dimintai pertolongan mengenai apa yang kamu katakan itu).”
Setelah itu, Dewi ’Aisyah langsung pergi lalu berbaring di tempat tidurnya. Saat itu beliau sangat yakin bahwa beliau tidak bersalah dan suatu saat nanti Allah pasti akan menunjukkan siapa yang benar. Sama sekali tidak terbesit dalam hatinya bahwa Allah akan menurunkan wahyu mengenai permasalahan yang baru beliau hadapi, karena beliau menganggap bahwa permasalahan itu terlalu remeh untuk difirmankan Allah Swt. Namun begitu, beliau mengharapkan agar Rasulullah Saw. melihat dalam mimpi bahwa Allah Swt. membersihkannya dari fitnah itu.
Namun, belum sampai Rasulullah beranjak dari tempat duduknya, dan belum seorang pun dari kalangan keluarga Dewi ’Aisyah keluar, Allah Swt. menurunkan wahyu kepada NabiNya. Seketika itu langsung terlihat perubahan pada diri Rasulullah Saw, Baginda Rasul duduk membongkok sambil berpeluh bagaikan mutiara pada musim sejuk karena beratnya menerima firman Allah Swt. yang diturunkan kepadanya.
Setelah itu Rasulullah Saw. langsung ketawa. Ucapan pertama baginda Nabi selepas menerima wahyu ialah sabdanya: ”Bergembiralah wahai ’Aisyah! Sesungguhnya Allah swt. telah membersihkan kamu!” Dan ibunda ’Aisyah langsung menyuruhnya untuk segera bangkit dari tempat tidur untuk bertemu Rasulullah. Namun Dewi ’Aisyah malah berkata: ”Demi Allah! Aku tidak akan bangun berjumpa baginda. Aku hanya akan memuji kepada Allah Swt. karena Dialah yang menurunkan ayat al Quran tentang kebersihanku.” Lalu Allah Swt. menurunkan ayat yang artinya: ”Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita yang amat dusta itu ialah segolongan dari kalangan kamu,” sebanyak sepuluh ayat. Allah Swt. menurunkan ayat-ayat tersebut untuk menyatakan kebersihan Dewi ‘Aisyah.
Sayidina Abu Bakar, orang yang selalu memberi nafkah kepada Mistah (salah seorang dari keluarga Abu Bakar dan seorang miskin) berkata: ”Demi Allah! Aku tidak akan memberikan nafkah kepadanya lagi selepas dia menfitnah Sayidatina ’Aisyah ra.” Sebagai teguran terhadap tindakan itu, Allah Swt. menurunkan ayat: وَلَا يَأْتَلِ أُولُوا الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى hingga ayat أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
Mendengar ayat tersebut Abu Bakar berkata: ”Demi Allah! Memang aku inginkan keampunan Allah swt.” Setelah itu Abu Bakar kembali memberikan nafkah kepada Mistah sebagaimana biasa dan berkata: ”Aku tidak akan berhenti memberi nafkah kepadanya.”
Sebenarnya Rasulullah Saw. pernah menanyakan masalah ’Aisyah ini kepada Zainab binti Jahsyin, salah satu isteri Nabi Saw. ”Apakah yang engkau ketahui atau apakah pendapatmu tentang ‘Aisyah?” sabda Rasulullah kepada Zainab. Dan ia pun menjawab: ”Wahai Rasulullah! Aku selalu menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah! Apa yang aku ketahui hanyalah kebaikan.” Jawaban inilah yang membuat Sayidatina ’Aisyah menaruh simpati kepadanya, sehingga beliau, ’Aisyah berkata: ”Dialah salah seorang dari kalangan isteri-isteri Nabi Saw. yang membanggakan aku. Allah Swt. mengaruniakan kepadanya sifat wara’, berbeda dengan saudara perempuannya, yaitu Hamnah binti Jahsyin yang turut serta menyebarkan fitnah. Maka celakalah dia bersama orang-orang yang celaka!” (Kisah ini diambil dari hadis riwayat Sayidatina ’Aisyah Ra.


Read More......

Langit diatas Langit

Suatu ketika Nabi Musa as. berpidato di tengah-tengah kaumnya. Dalam pada itu mereka menanyakan tentang suatu hal. "Siapakah manusia yang lebih tahu wahai Musa?" kata mereka. Dan saat itu juga Nabi Musa menjawab pertanyaan dari kaumnya. "Akulah orang yang lebih tahu itu." Jawab Musa kepada kaumnya.
Sejak kejadian itu, Allah terus menegurnya, karena Nabi Musa sama sekali tidak menyandarkan segala pengetahuan yang Ia miliki kepada Allah Swt. Untuk itu Allah memberikan wahyu kepadanya. "Sesungguhnya seorang hambaKu yang berada di pertemuan dua buah lautan (Khidhir) lebih tahu daripada kamu." Firman Allah kepada Musa. Selanjutnya Nabi Musa as. bertanya: "Wahai Tuhanku, bagaimana aku dapat berjumpa dengannya?" Akhirnya Nabi Musa diperintah untuk membawa ikan paus dalam sebuah keranjang. Dan di mana saja ikan itu hilang, maka di situlah orang itu (Khidhir) berada.
Untuk keperluan itu Nabi Musa berangkat bersama salah seorang muridnya yang bernama Yusya' bin Nun. Dan tak lupa, Nabi Musa juga membawa serta ikan paus yang dimasukkan dalam sebuah keranjang. Dengan berjalan kaki mereka terus menelusuri luasnya bumi Allah. Hingga suatu saat, sampailah perjalanan mereka pada sebuah batu karang besar dan sangat keras, lalu keduanya tidur.
Sementara itu, ikan yang berada di dalam keranjang bergerak-gerak dan keluar dari keranjang lalu terjun ke dalam luasnya samudera. Allah menahan ombak laut, sehingga menjadi seperti jembatan supaya ikan tersebut dapat melintasinya. Melihat kejadian itu, Nabi Musa dan Muridnya keheranan.
Setelah itu mereka meneruskan perjalanannya untuk mencari tempat yang belum juga mereka temukan. Namun, muridnya lupa tidak menceritakannya. Dan ketika pagi hari telah tiba, Nabi Musa berkata kepada muridnya:
"Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini."
Dan Yusya' bin Nun, muridnya berkata:
Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."
Kemudian Nabi Musa berkata:

"Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula."
Karena itu keduanya kembali ke tempat semula. Setelah sampai di sana Musa melihat sosok lelaki yang sedang berselimut dengan sehelai pakaian, dan itulah Khidhir yang dicari-cari.
Nabi Musa mencoba untuk memberikan salam kepadanya. Namun Khidhir malah balik bertanya kepada Musa: "Bagaimana mungkin ada salam di bumi ini?" Tanya Khidhir kepada Musa. Nabi Musa mencoba untuk memperkenalkan diri dengan Khidhir dengan berkata: "Aku adalah Musa." Namun, seperti semula, Khidhir malah balik bertanya: "Musa Bani Israel?" Nabi Musa pun mengiyakannya. Selanjutnya terjadilah dialog antara keduanya, sebagaimana diceritakan dalam al Quran, surat al Kahfi.
Khaidir berkata: "Sesungguhnya kamu memiliki salah satu ilmu yang telah diberikan Allah kepada kamu dan aku tidak mengetahuinya. Sebaliknya aku juga memiliki salah satu ilmu Allah yang telah diberikan kepadaku dan kamu tidak mengetahuinya."
66. Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.
68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
69. Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun."
Khidhir pun menjawab pernyataan Nabi Musa tersebut sekaligus memberikan syarat kepadanya untuk bisa mengikuti Khidhir, sebagaimana disebutkan dalam al Quran surat al Kahfi ayat ke 70.
Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu."
Nabi Musa pun menyetujui syarat yang diajukan oleh Khidhir. Selanjutnya mereka berjalan menelusuri tepi pantai sampai mereka menemukan sebuah perahu. Musa dan Khidhir bercakap-cakap kepada para penumpangnya dan meminta agar mereka bersedia memberikan tumpangan. Setelah mereka mengenali Khidhir, mereka bersedia untuk membawa keduanya tanpa meminta bayaran.
Namun, begitu keduanya telah berada di dalam perahu, tiba-tiba Khidhir mencabut papan pada perahu itu. Nabi Musa tidak tahan melihat apa yang sedang dilakukan oleh Khidhir, akhirnya Musa memprotes perbuatan Khidhir itu.
Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.
Menanggapi protes Nabi Musa Khidhir hanya menegur.
Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku."
Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku."
Sewaktu mereka berdua sedang berjalan-jalan di tepi pantai, mereka mendapati seorang remaja sedang bermain-main dengan kawan-kawannya. Tanpa berkata-kata Khidhir langsung memegang kepalanya kemudian membunuhnya. Lagi-lagi Musa tidak tahan melihat perbuatan yang dilakukan Khidhir, sehingga Ia tidak lagi menghiraukan peringatan Khidhir tadi. Sehingga ia menanyalakan kepada Khidhir tentang perbuatannya itu.
Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".
Bukankah aku telah katakana kepadamu, bahwa kamu tidak akan sabar bersamaku? Jawab Khidhir pada Musa.
Selanjutnya Nabi Musa berjanji, jikalau Ia bertanya lagi pada Khidhir tentang sesuatu, maka ia tidak akan mengikuti Khidhir lagi.
Setelah itu, mereka berdua meneruskan perjalanannya ke sebuah negeri. Ketika mereka telah sampai di sana, mereka meminta jamuan kepada para penduduk. Namun tak seorang pun yang mau menjamu. Setelah itu, keduanya menemukan sebuah dinding rumah yang hampir roboh. Lalu Khidhir menegakkan dinding itu. Dan Musa berkata: "Jikalau kamu mahu, niscaya kamu mengambil upah untuk itu." Dan inilah pelanggaran ketiga kalinya, sehingga Khidhir mengatakan: "Inilah perpisahan kita. Aku akan memberitahumu tujuan perbuatan-perbuatanku yang membuatkan kamu tidak sabar terhadapnya."
Begitulah sekelumit cerita pertemuan antara Nabi Musa dan Khidhir. Banyak hikmah yang dapat kita ambil dari kisah ini. Sehingga Rasulullah Saw. Pernah bersabda yang artinya kurang lebih: "Semoga Allah merahmati Nabi Musa as. Aku amat suka sekiranya Nabi Musa as. dapat bersabar, sehingga beliau dapat menceritakan kepada kita tentang pengalaman mereka berdua." Rasulullah Saw. bersabda: "Tindakan Nabi Musa as. yang pertama memang kerana terlupa." Baginda RasuluLlah Saw. Juga bersabda: "Seekor burung pipit terbang lalu singgah di tepi perahu tersebut dan mematuk di laut. Lalu Khaidir berkata kepada Nabi Musa as.: "Ilmu kita, jika dikaitkan dengan ilmu Allah, adalah seperti patukan seekor burung pipit pada lautan." WaLlahu A'lam.


Read More......

Adzan

Allah mewajibkan shalat kepada kaum muslimin agar mereka selalu mengingat keagungan DzatNya, supaya mereka melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi semua larangan-laranganNya. Hal ini senada dengan Firman Allah dalam surat al Ankabut: ”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”

Masalah akan selalu timbul di mana pun dan kapan pun pada diri seseorang. Berbagai macam masalah akan selalu mengikuti gerak kehidupan, apalagi kalau sudah menyangkut kehidupan masyarakat. Ada hak-hak yang harus diberikan, ada kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, sehingga masalah tak mungkin terelakkan dari kehidupan manusia. Demikian juga dengan umat Islam. Sebagai komunitas baru di kalangan masyarakat Arab, berbagai tantangan selalu setia menghadang, mengingat kedatangan Islam saat itu telah menentang keyakinan yang telah dibangun oleh nenek moyang mereka.
Supaya kaum muslimin bisa selalu bermusyawarah untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi, merumuskan strategi untuk memenuhi kebutuhan, dan supaya tali kasih dan persatuan di antara mereka terjalin dengan kuat, Allah menjadikan keutamaan shalat ketika dilaksanakan dengan berjamaah, bahkan telah dijanjikan pahala dan keutamaan yang berlipat sampai dua puluh tujuh tingkatan.
Namun, kaum muslimin waktu itu belum menemukan bagaimana cara untuk mengumpulkan orang-orang ketika waktu shalat telah masuk. Padahal cara itu sangatlah diperlukan untuk mengingatkan orang-orang yang lalai supaya mereka semua dapat berkumpul bersama. Menyadari hal itu, Nabi Muhammad Saw. kemudian mengumpulkan para sahabat dan meminta pertimbangan dari mereka, apa cara yang paling tepat untuk dilakukan.
Setelah musyawarah dibuka, bermacam ide disampaikan oleh sahabat, diantaranya adalah dengan mengibarkan panji-panji. Namun sayang, setelah melalui adu argumentasi yang sengit, usul ini belum bisa diterima, karena panji-panji tidak akan bisa membangunkan orang tidur dan tidak bisa mengingatkan orang yang lupa. Ada lagi golongan sahabat yang mengusulkan agar dinyalakan api di tempat yang tinggi atau di sebuah bukit. Tak jauh dari yang pertama, rupanya usul ini pun belum bisa diterima. Kemudian salah satu sahabat mengatakan bagaimana kalau terompet saja. Sebetulnya ini usul yang sangat bagus, namun sayang Rasulullah tidak mengizinkannya, karena meniup terompet sama dengan apa yang dilakukan orang-orang Yahudi, padahal Rasulullah tidak suka mengikuti pekerjaan mereka. Untuk yang keempat kalinya, salah satu sahabat mengusulkan dengan memukul lonceng, dan tentu saja Rasulullah tidak berkenan, karena membunyikan lonceng adalah kebiasaan orang-orang Nasrani.
Empat macam cara sudah diajukan, namun belum juga ada yang diterima. Sampai kemudian ada sebagian sahabat mengemukakan ide yang sangat bagus, yaitu dengan menyuarakan panggilan. Caranya, ketika waktu shalat telah tiba, maka salah seorang di antara mereka menyuarakan kalimat-kalimat itu. Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya pendapat ini pun diterima, dan ditunjuklah orang-orang yang akan diserahi tugas untuk melakukannya. Salah satunya adalah sahabat Abdullah bin Zaid al Anshari.
Suatu ketika, dikala sahabat Abdullah bin Zaid al Anshari dalam keadaan antara tidur dan sadar, tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang tidak dikenal. Dia berkata kepada Abdullah bin Zaid: ”Hai zaid, apakah engkau mau bila ku ajarkan beberapa kalimat yang bisa kamu ucapkan ketika menyuarakan panggilan untuk melakukan shalat?” Dia pun mengiyakannya, dan lelaki itu pun melanjutkan ucapannya seraya mengajarkan kepada Abdullah bin Zaid kalimat-kalimat berikut: ”Ucapkanlah: ’Allahu Akbar Allahu Akbar’ sebanyak dua kali, dan ucapkan kalimat syahadat masing-masing dua kali, kemudian katakanlah ’Hayya ala al Shalaah’ dua kali, ’Hayya ala al Falaah’ dua kali, kemudia bertakbirlah kepada Tuhanmu dua kali, lalu ucapkan ‘Laa Ilaaha Ilallah’.”
Setelah terbangun dari tidur, Abdullah bin Zaid pun menghadap kepada baginda Rasulullah SAW. dan menceritakan perihal mimpi yang baru saja ia alami. Setelah mendengarkan ceritanya, Rasulullah membenarkan mimpi itu dan langsung memerintahkannya untuk mengajarkan kalimat-kalimat itu kepada sahabat Bilal, karena suaranya lebih keras dibandingkan dengan suara sahabat Abdullah bin Zaid al Anshari. Semenjak itu, setiap waktu shalat tiba, sahabat Bilal selalu mengumandangkan kalimat-kalimat itu. Suatu ketika, sahabat Umar mendengar panggilan adzan yang dikumandangkan sahabat Bilal, dan ia mengatakan ”Ya Rasulallah, sungguh aku telah bermimpi seperti itu.”
Bilal adalah salah satu muadzin masjid Madinah selain sahabat Abdullah bin Ummi Maktum. Dalam adzan subuh, sahabat Bilal menambahinya dengan ”al Shalaatu Khairun min al Nauum”. Rasulullah pun menyetujuinya. Sedangkan pada bulan Ramadan, Rasulullah memerintahkan untuk melakukan adzan dua kali. Yang pertama adalah adzan sebagai pertanda waktu sahur, dan yang kedua untuk menandai masuknya waktu subuh. Adapun adzan Jumat dilakukan ketika imam telah duduk di atas mimbar, dan kebiasaan ini terus berlangsung dari masa Rasulullah sampai zaman Khalifah Abu Bakar dan Umar.
Perkembangan umat Islam semakin pesat, dan jumlah kaum muslimin pun dari waktu ke waktu semakin bertambah banyak. Dengan mempertimbangkan hal itu, semenjak pemerintahan sahabat Utsman bin Affan adzan Jumat dilakukan sebanyak dua kali. (Dikutip dari kitab Nurul Yaqin: Bab al Adzan hal. 75).

Read More......

Salat dan Hikmah yang Terkandung di dalamnya

Apa salat itu? ”Salat ya… seperti yang biasa kita lakukan setiap hari itu.” Mungkin inilah jawaban yang akan kita dapatkan. Banyak diantara kita yang hanya tahu salat karena biasa melakukannya, biasa melihatnya, namun belum mengetahui definisinya secara komplit.

Lalu apa sebenarnya salat itu? Dalam kitab Fath al Mu’in dijelaskan bahwa makna salat secara bahasa adalah do’a. Jadi, ketika kita berdo’a kepada Allah SWT, maka itu dinamakan salat. Adapun definisi salat secara syara’, sebagaimana diungkapkan lebih lanjut dalam kitab Fath al Mu’in, adalah bacaan-bacaan dan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan yang didahului dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Salat sendiri ada yang diwajibkan dan ada pula yang sekedar sunah untuk melakukannya. Adapun salat yang diwajibkan ada lima yaitu salat subuh, dhulur, ashar, maghrib, dan isya’. Sedangkan salat yang hukumnya sunah ada banyak sekali, diantaranya ada yang muakad (ditekankan untuk dilakukan), dan ada pula yang ghairu muakad (tidak begitu ditekankan untuk dilakukan).
Allah SWT memberikan perintah kepada kita untuk melakukan salat lima waktu pada malam Isra’ Mi’raj atau tepatnya pada malam tanggal 27 Rajab, melalui nabi kita Muhamad SAW. Bulan Rajab adalah satu di antara bulan yang istimewa. Rajab adalah salah satu diantara empat bulan mulia atau asyhur al-hurum. Secara khusus disunnahkan untuk melakukan puasa pada bulan tersebut. Pada bulan inilah, sekitar 14 abad yang lampau, Rasulullah menerima wahyu kewajiban sholat lima waktu melalui serangkaian perjalanan kilat dari Masjid al Haram ke Masjid al Aqsha, kemudian dilanjutkan naik ke tujuh lapis langit, sebagimana sering kita dengar kisahnya. Rasulullah menerima kewajiban shalat lima waktu ini sebagai sebuah penghormatan dan anugerah dari Allah SWT. Awal mula, Allah mewajibkan 50 kali shalat dalam sehari semalam. Bisa kita bayangkan bila hal itu benar-benar terjadi. Tentu tiada hari tanpa salat. Sebab, jika kita hitung secara matematis satu hari itu ada 24 jam, dan setiap jam itu ada 60 menit. Jika kedua bilangan itu kita kalikan maka hasilnya adalah 1440. Dan 1440 jika dibagi 50 maka sama dengan 28,8. Jadi, andaikan saja salat wajib yang harus kita lakukan itu sebanyak 50 kali setiap hari, maka kita wajib melakukan salat kurang lebih setiap 28,8 menit sekali. Lalu siapa yang sanggup melakukannya? Nabi Muhamad SAW tahu bahwa umatnya tidak akan sanggup melakukannya, sehingga beliau meminta keringanan kepada Allah SWT hingga akhirnya sedikit demi sedikit Allah memberikan keringanan hingga tersisa lima kali dalam sehari semalam, dengan kadar pahala yang tak berkurang.
Shalat adalah amalan paling utama setelah dua kalimat syahadat. Dengan kesempurnaan shalatlah, keseluruhan amal seseorang akan menjadi baik dan berguna sehingga berbuah manis serta kebahagiaan di akhirat. Jika seseorang menyempurnakan shalatnya, maka dia akan beruntung dan diterimalah semua amalan kebaikannya, dan sebaliknya, jika shalatnya terbengkalai, maka dia akan merugi, dan amalan kebajikan lainnya tidak akan banyak berguna. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
Artinya: "Sesungguhnya amal seorang hamba pertama kali yang dihisab di hari kiamat adalah sholatnya. Jika sholatnya baik, maka dia beruntung dan akan selamat, dan jika sholatnya rusak, maka maka dia akan merugi. Jika dalam sholat fardlunya terdapat kekurangan, maka Tuhan subhanahu wa ta'ala berkata: 'Telitilah, apakah hambaku melakukan shalat sunnah, sehingga dengannya, kekurangan shalat fardlunya akan disempurnakan?. Begitulah seterusnya amal-amal yang lain."
Allah Yang Maha Bijaksana menyari'atkan sholat sebagai kewajiban yang harus dipenuhi hamba-Nya, tidak lain hanyalah untuk kepentingan dan kemaslahatan hamba-Nya. Setidaknya, terdapat tiga hikmah yang terkandung dalam penyari'atan shalat. Pertama, shalat sebagai pembasuh dosa-dosa yang melumuri seorang hamba. Karena sebagai hamba, selayaknyalah mengabdi dan berbakti hanya kepada Tuhannya. Namun pada kenyataannya, manusia adalah makhluk lemah, penuh salah dan dosa. Maka, sebagai pembasuh dosa-dosanya, manusia perlu melakukan kontak batin dengan Tuhannya, bermohon ampunan dan petunjuk-Nya setidaknya lima kali dalam sehari semalam. Jika secara konsisten shalat dilakukan sesuai dengan etika lahir batinnya, maka seorang hamba seperti layaknya orang yang mandi lima kali sehari. Betapa bersih tubuhnya dari kotoran-kotoran dan debu. Betapa segar tubuhnya dari keringat dan peluh selama seharian. Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya : "Perumpamaan shalat lima waktu adalah seperti sungai yang meluap airnya di depan pintu rumah salah seorang dari kalian, dia mandi di sungai tersebut setiap hari lima kali."

Kedua, shalat sebagai pengendali hawa nafsu dan mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya : Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
Al Fakhrur Razi dalam tafsirnya memberikan penjelasan bahwa shalat bisa mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar dengan dua syarat, pertama, keikhlasan dalam menjalankannya, kedua, hudlurul qalbi atau khusyu'. Selanjutnya, Ar-Razi memberikan ilustrasi tentang sisi-sisi bagaimana seseorang yang melakukan sholat dengan dua persyaratan tadi akan terhindar dari perbuatan keji dan kemungkaran. Diantaranya adalah bahwa seseorang yang menjadi pelayan raja yang telah banyak memberikan anugerah kebaikan kepadanya, sementara sang raja tahu bahwa si pelayan seringkali melakukan kesalahan dan pembangkangan, maka mustahil jika si pelayan akan menjadi orang yang dekat dengan sang Raja tanpa menunjukkan keikhlasan pengabdian dengan kepatuhan yang tulus. Maka seorang hamba Allah akan menjadi hamba sejati jika dia istiqamah mendirikan sholat.
Dalam bagian lain Ar-Razi mengilustrasikan bahwa, seorang pekerja kasar seperti pembersih kandang, tukang sapu, atau profesi yang berkaitan dengan kotoran, ketika dia memiliki baju bagus, amatlah sayang jika ia memakainya saat menjalankan aktivitasnya sebagai tukang bersih kandang dan itu akan membuat kotor bajunya. Begitu halnya seseorang yang telah melakukan shalatnya dengan benar sesuai etika lahir batinnya, sehingga hatinya bersih dari kotoran-kotoran dosa, maka akan sangat sayang untuk melumuri hatinya kembali dengan perbuatan-perbuatan dosa.
Hikmah yang ketiga di antara hikmah shalat adalah sebagai kunci segala kebaikan, mulai dari barakah rizki, penggiat amal kebajikan, pengangkat derajat, pelebur amal kejelekan, serta penolak musibah bencana dan sebagainya. Karena shalat adalah dasar dari taqwa, sementara taqwa adalah pokok dari kesempurnaan. Allah berfirman:
Artinya : “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayaKami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."
Dalam sebuah hadits dijelaskan:
Artinya; "Barangsiapa yang istiqamah melakukan shalat jama'ah lima waktu, maka Allah akan menganugerahiinya lima hal. Pertama, Allah akan menghilangkan kesempitan dalam penghidupan. Kedua, Allah akan menghilangkan siksa kubur. Ketiga, Dia akan menerima buku catatan amalnya di hari kiamat dengan tangan kanan. Keempat; Dia akan lewati di atas shirath (titian menuju surga) seperti halnya kilat yang menyambar. Kelima, Dia akan masu surga tanpa hisab (perhitungan amal)”
Sebaliknya apabila seseorang teledor dalam salatnya, niscaya amal-amal yang lain juga akan seperti itu. Dan seluruh amalnya tidak diterima di sisi Allah, akibatnya akan hilang barakah rizkinya, tidak nampak tanda kebaikan darinya serta yang paling celaka adalah Allah murka padanya. Sebagaimana hadis Nabi di bawah ini;
Artinya; “Siapa yang mempermudah (maremahkan) urusan salat berjamaah, niscaya Allah akan mengangkat (menghilangkan) barakah rizkinya, semua amalnya tidak diterima, akan dibelokkan dia dari kebaikan, dia akan dibenci oleh semua manusia, ruhnya dicabut dalam keadaan dia sedang lapar dan haus, dia akan di persulit dalam “sualul qabri,” kuburannya akan sempit dan gelap serta prhitungan amalnya akan berat di hari kiamat. Allah murka kepadamya dan akan memasukkannya ke dalam neraka sebagai balasannya”
Hanya umat Nabi Muhamad SAW saja yang diwajibkan melakukan salat sebanyak 5 kali dalam sehari. Sedangkan umat-umat terdahulu hanya diwajibkan untuk melakukan salah satu dari lima salat wajib. Tertulis dalam kitab Fathu al Mu’in sebagaimana diceritakan oleh Imam Rafi’i bahwa salat subuh adalah salatnya Nabi Adam, salat dhuhur adalah salatnya Nabi Dawud, salat ashar adalah salatnya Nabi Sulaiman, salat maghrib adalah salatnya Nabi Ya’qub, dan salat isya’ adalah salatnya Nabi Yunus.
Jadi tidaklah berlebihan jika Islam disebut sebagai agama yang sempurna. Sebab Islam memang menyempurnakan syari’at yang dibawa oleh nabi-nabi sebelum Nabi Muhamad SAW.

Read More......

Fatimah Al Zahra

Tidak asing lagi di telinga kita nama Fatimah al Zahra, salah seorang putri Nabi Muhammad Saw. yang terlahir dari rahim Sayidatina Khadijah Ra. Dia adalah putri yang paling dekat dan hidup paling lama bersama Rasulullah Saw.

Karena itu sejak kecil ia sudah mendapat bimbingan langsung dari Rasulullah, sehingga pada saatnya ia tumbuh menjadi seorang wanita yang berpendidikan sekaligus mempunyai ahlak yang mulia. Dia juga sangat terkenal di dunia Islam, sebab dari dia lah keturunan Nabi Muhamad Saw. Berkembang dan tersebar hampir di semua negeri Islam. Di dunia syiah beliau juga mendapatkan tempat tersendiri, yaitu menjadi sasaran pemujaan, begitu pula anak turunnya bersama Sayidina Ali Ra. disebut sebagai ahlu al bait, pewaris kepemimpinan Nabi Saw.
Fatimah dilahirkan di Mekah pada tanggal 20 Jumadilakhir, tahun 18 sebelum Hijriyah atau tahun kelima dari kerasulan. Beliau adalah putri bungsu Nabi Muhamad Saw. setelah (berturut-turut) Zainab, Ruqayah, dan Ummu Kultsum. Sedangkan saudara laki-lakinya yang tertua adalah Qasim dan Abdullah yang meninggal dunia pada usia muda.
Kehidupan Fatimah al Zahra dapat dibagi dalam dua periode, masa kanak-kanak di Mekah dan masa remaja serta masa dewasa di Madinah. Masa kanak-kanaknya dilalui dengan penuh penderitaan. Keluarganya hidup dalam keadaan yang menyedihkan, banyak tekanan dan penyiksaan. Pada masa itulah babak baru perjuangan Rasulullah Saw. Sangat berbeda dengan kehidupan yang dilewatinya pada masa-masa remaja dan dewasa di Madinah. Sebagai seorang putri pemimpin kota Madinah beliau tinggal di pusat kota yang paling berpengaruh.
Setahun setelah hijrah beliau dinikahkan dengan sahabat Ali bin Abi Talib. Sebelumnya banyak orang yang bermaksud untuk menikahinya, di antaranya adalah tokoh-tokoh sastra, kaum terpelajar, pahlawan-pahlawan perang, dan orang-orang kaya. Hal ini sangatlah wajar, karena beliau adalah wanita yang sangat terhormat, putri Rasulullah Saw. Sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar juga pernah melamar beliau. Namun ditolak secara halus oleh Rasulullah Saw. Sahabat Ali sebenarnya tidak berani melamar Fatimah karena kemiskinannya. Akan tetapi Nabi Saw. begitu mendorongnya dengan memberikan bantuan sekadarnya untuk persiapan rumah tangga mereka. Mas kawinnya sebesar 500 dirham (+ 10 gram emas) yang sebagiannya diperoleh dengan menjual baju besinya. Rasulullah memilih Ali sebagai suami Fatimah karena ia adalah anggota keluarga yang sangat arif dan terpelajar disamping orang pertama yang masuk Islam.
Dari perkawinan Fatimah dengan Ali lahirlah Hasan dan Husein. Keduanya terkenal sebagai tokoh Syiah yang mati terbunuh di Karbala. Selain Hasan dan Husein juga lahir anak ketiga, yaitu Muhassin serta dua anak perempuan, Ummi Kulsum dan Zainab.
Kehidupan rumah tangga Fatimah sangatlah sederhana, bahkan sering juga kekurangan, sehingga beberapa kali harus menggadaikan barang-barang keperluan rumah tangga mereka untuk membeli makanan, sampai-sampai kerudung Fatimah pernah digadaikan kepada salah seorang Yahudi Madinah. Namun demikian, mereka tetap bahagia, lestari sebagai suami istri sampai akhir hayat.
Fatimah adalah putri kesayangan Rasulullah Saw. Sekali waktu Nabi Saw. pernah mengatakan kepada Ali: ” Fatimah adalah bagian dariku, siapa yang menyakitinya berarti menyakitiku, siapa yang membuatnya gembira maka ia telah membahagiakanku.” Ini dikatakan Rasulullah sehubungan dengan keinginan salah seorang tokoh kuraisy untuk menikahkan anak perempuannya dengan Ali. Nabi Muhamad mengatakan: ”Ceraikanlah dulu Fatimah jika Ali berniat untuk menikahinya.” Ini merupakan bukti kuat akan kecintaan Rasulullah Saw. Kepada putri bungsunya ini.
Memang Nabi Saw. sangat sayang kepada Fatimah. Sewaktu Nabi Saw. sakit keras menjelang wafatnya, Fatimah tiada hentinya menangis. Nabi Saw. memanggilnya seraya berbisik kepadanya dan tangisnya pun semakin bertambah. Setelah itu Nabi Saw. berbisik lagi kepadanya dan ia pun tersenyum. Kemudian hal itu ditanyakan kepada Fatimah. Dia menjawab bahwa dia menangis karena ayahnya memberitahukan kepadanya bahwa tak lama lagi ayahnya akan meninggal, tetapi dia tersenyum karena –seperti kata ayahnya- dialah yang pertama akan menjumpainya di akhirat nanti.
Fatimah adalah seorang wanita yang agung, seorang ahli hukum Islam, darinya banyak diriwayatkan hadis Nabi Saw. Dia adalah tokoh wanita dalam bidang kemasyarakatan, sangat sabar, dan akhlaknya sangat mulia.
Tak lama setelah wafatnya Rasulullah Saw, Fatimah jatuh sakit. Merasa ajal sudah dekat, beliau membersihkan dirinya, memakai pakaian yang terbaik, memakai wewangian dibantu oleh iparnya, Asma bin Abi Talib. Beliau meninggal dengan satu pesan bahwa hanya Ali, suaminya saja yang boleh menyentuhnya.


Read More......